Dompet Dhuafa Bantu Logistik Pengungsi Gas Dieng

Banjarnegara, 2 Juni 2011

Kondisi peningkatan aktifitas gas beracun Dieng membuat masyarakat menjadi pengungsi. Mereka memilih lokasi lokasi umum terdekat atau mendiami rumah saudara mereka di lokasi yang dianggaop aman. Pengungsian seperti yang ada di SMA 1 Batur dan Balaui Desa Batur ini akhirnya dipenuhi oleh masyarakat yang mengungsi. Untuk membenstu meringankan penderitaan di pengungsian itu tim DMC Dompet Dhuafa mengirimkan sejumlah logistik kebutuhan pengungsian.Logistik yang dipasok adalah kebutuhan dapur umum dan kebutuhan pengungsian.

Kepada 50 pengungsui di SMA 1 Batur dan 174 Orang di Pengungsian Balai Desa Batur ini DMC Dompet Dhuafa juga memberikan edukasi kebencanaan dan trauma healing bagi anak-anak pengungsi melalui program Sekolah Ceria. Pengungsi selain membutuhkan logistik dan dapur umum juga memerlukan pendampingan dan lyanan trauma teruma bagi kelompok paling rentan yakni anak, ibu dan orang tua. Pada kesempatan ini juga, Dompet Dhuafa membagikan masker 800 helai kepada pengungsi dan masyarakat.

Sampai saat ini Tim DMC Dompet Dhuafa didatangkan dari Jakarta dan Jogja dan berkolaborasi dengan Kokam Wonosobo. Tim yang dipimpin Sdr. Iskandar ini mengendalikan aksinya dari Posko DMC Dompe Dhuafa di Jl. KH Ahmad Dahlan No. 2, Kompleks Madrasah Diniyah Muhammadiyah Sumbewrejo Batur Banjarnegara. Sampau saat ini DMC Dompet Dhuafa masih mengirimkan sejumlah tim untuk memperkuat program aksi bencana gas beracun Dieng ini.

Titik Semburan Gas Dieng Meluas

Eko Widiyatno

BANJARNEGARA -- Kondisi sekitar kawah Timbang di Pegunungan Dieng, Jawa Tengah, semakin membahayakan. Bila Ahad (29/5) lalu semburan gas muncul dari kawah dan dari retakan tanah sepanjang 50 meter ke arah selatan kawah, sejak Selasa (31/5) di beberapa lokasi di sebelah barat kawah juga muncul titik semburan gas baru.

Petugas Pos Pengamatan Kegunungapian Dieng Suripto mengkhawatirkan kemunculan titik-titik semburan gas ini akan makin bertambah dan meluas ke berbagai arah. Bahkan, semburan gas beracun dari kawah yang terletak di Desa Sumberejo, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, ini kadarnya semakin meningkat drastis.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono mengatakan, konsentrasi gas karbondioksida (CO2) yang menyembur dari Kawah Timbang dan sekitarnya sudah mencapai lebih dari satu persen volume. Sementara dalam kondisi aktif normal, konsentrasi gas CO2 tak lebih dari 0,1 persen volume.

"Ini berarti terjadi peningkatan 10 kali lipat. Untuk itu, kami meminta Pemkab Banjarnegara untuk mengosongkan dua dusun yang lokasinya paling dekat dengan Kawah Timbang," kata Surono yang ikut memantau langsung di Pos Pemantauan Gunung Api Dieng di Desa Batur, Kecamatan Batur, kemarin.

Dua dusun yang diminta dikosongkan adalah Dusun Serang dan Susun Simbar. Lokasi kedua dusun ini sebenarnya berjarak sekitar 1,5 kilometer barat daya Kawah Timbang atau lebih jauh dibanding radius satu kilometer yang direkomendasikan PVMBG untuk disterilkan. Namun, Surono tak mau ambil risiko dengan perkembangan situasi Kawah Timbang saat ini.

Dia mengingatkan, semburan gas beracun tidak bisa diduga asalnya dari mana. "Semburan gas tidak hanya keluar dari kawah saja. Tapi, juga bisa keluar dari retakan-retakan tanah yang terjadi akibat gempa tektonik dangkal dan dalam," kata Surono. Apalagi, kini sudah muncul gempa-gempa tremor yang belum terjadi sebelumnya.

Surono juga meminta warga untuk jangan coba-coba masuk ke wilayah dalam radius satu kilometer dari Kawah Timbang. Walau kelinci atau ayam yang dilepas di radius itu masih hidup, parameter klasik itu belum tentu tepat karena gas beracun bisa mengambang 1-2 meter di atas permukaan tanah.

"Dalam kondisi seperti ini, yang di bawah satu meter dari permukaan tanah udaranya memang tidak beracun. Namun, udara yang di atas satu meter ternyata beracun," kata Surono. Apalagi gas beracun tidak bisa dilihat dan tidak berbau. "Jadi, saya benar-benar meminta warga agar saat ini jangan pergi ke ladang kentang yang ada di sekitar Kawah Timbang."

Batas aman gas CO2 dalam udara bebas adalah 0,5 persen volume. Pada Selasa pagi, kadar gas CO2 yang disemburkan beberapa titik Kawah Timbang masih menunjukkan angka 0,65 persen volume. Padahal, pada saat status bahaya dinaikkan dari Aktif Normal menjadi Waspada (Level II) pada Senin (23/5) pekan lalu, konsentrasinya masih 0,1 persen volume.

Pada Ahad kemarin, terlihat asap putih yang biasanya merupakan campuran gas CO2 dan gas belerang (H2S) keluar dari kawah dan retakan tanah sepanjang 50 meter ke selatan menuruni lembah. Pada Senin (30/5) ketika status Kawah Timbang naik ke Siaga (Level III), kadar CO2 sudah mencapai 0,596 persen volume.

Kawah lainnya yakni Sileri dan Sinila yang mempunyai riwayat embusan gas beracun hingga memakan korban jiwa tidak menunjukkan aktivitas. Namun, dua kawah yang terletak sekitar satu kilometer sebelah timur Kawah Timbang itu sejak dulu sudah dilarang didekati oleh warga maupun wisatawan.

Menanggapi rekomendasi PVMBG soal pengosongan dua dusun, aparat Pemkab Banjarnegara langsung menjemput warga dengan beberapa mobil bak terbuka dan kemudian membawa mereka ke pos pengungsian. Menurut Camat Batur Sarkono, jumlah warga dari dua dusun yang dievakuasi seluruhnya mencapai 1.179 jiwa terdiri atas 669 jiwa warga Dusun Serang dan 510 warga Dusun Simbar.

"Mereka kami evakuasi karena ancaman bahaya gas beracun bisa menuju perkampungan," kata Sarkono di posko utama aula Kecamatan Batur. Para pengungsi itu berada di 17 pos pengungsian di Kecamatan Batur, Wanayasa, Karangkobar, dan Pejawaran. Namun, masih banyak warga yang belum diungsikan.

Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih mengakui, sebagian warga masih bertahan karena menganggap ancaman gas beracun masih dapat dihindari. Alasannya, gas beracun masih bisa direduksi kadarnya oleh sinar matahari.

Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah Sarwo, sebagian warga masih menganggap peningkatan aktivitas kawah sebagai hal biasa. Akibatnya, sebagian masih bertahan dan enggan untuk mengungsi.

Beberapa pengungsi mengeluhkan minimnya selimut yang disediakan di lokasi pengungsian. Siam (40 tahun) yang mengungsi bersama cucu perempuannya di SMA Negeri 1 Batur menyatakan, suhu di Pegunungan Dieng pada malam hari sangat dingin. "Kalau di rumah, kami bisa tidur di kasur sehingga agak hangat. Tapi di sini, kami tidur di lantai sehingga sangat dingin sehingga sering menggigil kedinginan," ujarnya.

Petugas kesehatan di Posko Kesehatan SMA 1 Batur Yuliantika mengakui, barang yang saat ini sangat dibutuhkan warga adalah selimut tebal karena suhu udara di Dieng pada malam hari bisa mencapai 10 derajat Celcius. Sementara selimut yang dibagikan Palang Merah Indonesia (PMI) hanyalah selimut biasa. "Tidak cukup untuk menahan dingin udara di sini."

Kebutuhan selimut juga diperkuat oleh Sarkono. Walau belum semua warga dua dusun itu mengungsi, namun perlengkapan tidur yang tersedia terbatas sehingga sejumlah pengungsi tidur dengan alas tipis. Apalagi penghuni lokasi penampungan sementara yang dipusatkan di Balai Desa Batur, SMA 1, dan SMP Batur ini adalah anak-anak dan ibu-ibu. "Kami kasihan jika anak-anak kecil harus tidur di lantai yang dingin,'' kata Sarkono. c19/antara ed: rahmad budi harto

Dieng Mulai Sepi Pengunjung

BANJARNEGARA--MICOM: Jumlah kunjungan wisatawan ke beberapa lokasi di Dieng di Banjarnegara, Jawa Tengah, menyusul adanya informasi gas beracun di Kawah Timbang. Misalnya jumlah pengunjung ke Kawah Sekendang dan Kawah Telogo Warna, turun drastis.

Ancaman gas beracun karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2) muncul seiring dengan meningkatnya aktivitas di Gunung Berapi Dieng. Berita yang beredar menyebutkan, gas beracun itu dikhawatirkan muncul, tak hanya dari Kawah Timbang, tapi juga dari tanah permukiman warga.

Kondisi itu langsung berdampak pada kunjungan wisatawan ke sejumlah objek wisata, seperti Kawah Sekendang dan Kawah Telogo Warna di Banjarnegara.

Jika biasanya, jumlah wisatawan ke dua objek itu mencapai 1.500 orang setiap harinya, kini, hampir tidak ada kunjungan wisatawan.

Itu tentu berdampak pada pemasukan kas kabupaten setempat karena tidak ada tiket masuk yang terjual. Untuk masuk ke objek wisata itu, pengunjung dikenai hanya Rp2.000.

Karena itu, pihak Pemkab Banjarnegara, khususnya Dinas Pariwisata setempat, terus mencoba mensosialisasikan bahwa objek wisata Kawah Sekundang dan Kawah Telogo Warna masih aman dikunjungi. (Metrotvnews/OL-9)

Jejak Letusan Dieng dari Masa ke Masa

EMPO Interaktif, Jakarta - Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana menaikkan status Gunung Dieng yang semula berstatus waspada menjadi siaga, Minggu, 29 Mei 2011 malam. Menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, Surono, perubahan status ini dikarenakan aktivitas Dieng mulai tinggi sejak Minggu siang. Aktivitas itu juga disertai munculnya gas beracun.

Pegunungan Dieng yang berada di wilayah Kabupaten Batang, Banjar Negara, dan Wonosobo memiliki enam kawah, yakni Sileri, Sinila, Siglagah, Condrodimuko, Sikidang, dan Timbang. Erupsi tahun ini terjadi di Kawah Timbang yang berada di wilayah Kabupaten Banjarnegara. "Aliran gas mengalir sejauh 50 meter ke arah selatan," ujar Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Senin, 30 Mei 2011.

Meningkatnya aktivitas Gunung Dieng yang disertai keluarnya gas beracun kali ini mengingatkan pada peristiwa yang terjadi pada 1979. Pada erupsi tahun itu, gas beracun yang dikeluarkan gunung ini menewaskan 149 orang.

Kompleks Gunung Berapi Dieng terletak di dataran tinggi Jawa Tengah. Selama beberapa abad, aktivitas gunung berapi di Dieng didominasi oleh letusan freatik dan aktivitas panas bumi (fumarol, solfataras, kolam lumpur, sumber air panas).

Gunung Dieng terkenal karena pelepasan karbon dioksida yang kadang-kadang menyebabkan kematian bagi penduduk. Emisi karbon dioksida dapat merusak vegetasi sekitarnya dan masyarakat setempat mengetahui "lembah kematian".

Pada Januari 2009, erupsi terjadi. Status Gunung Dieng dinaikan dari tingkat I ke siaga II setelah dua letusan freatik terjadi.

Pada Maret 1992, emisi gas beracun yang keluar dari Kawah Sikidang membunuh satu orang.

Yang paling mematikan adalah letusan 1979. Pada tahun ini, emisi karbon dioksida yang menyertai letusan freatik (letusan yang disebabkan pemanasan air di bawah tanah) menewaskan 149 orang.

Pada 1944, Gunung Dieng kembali meletus. Hujan abu dan lumpur terjadi di Desa Kepakisan, Sekalem, Sidolok, Pagerkandang, Djawera, dan Kepakisan-lor hingga gelap pekat. Setidaknya 59 orang tewas, 38 orang luka (sebagian luka bakar), dan 55 orang menghilang.

Sedangkan 1939, erupsi freatik terjadi. Retakan membentuk lereng dan menghasilkan pancaran lumpur.

Selebihnya, erupsi juga terjadi pada 1943, 1939, 1928, 1883-84, 1847, 1826, 1825, 1786, 1776, dan 1375.

ARIS | FWH | RIRIN